Bersamaan dengan mulainya era Reformasi, DPP AAI periode 2000-2005, dipimpin Denny Kailimang, S.H., M.H. Sebagai Ketua Umum yang ketiga, didampingi Wakil Ketua Umum Thomas E. Tampubolon, S.H., M.H. dan Sekretaris Jenderal Teddy Soemantry, S.H.
Seluruh program DPP AAI dalam periode 2000-2005 ini diarahkan sejalan dengan agenda reformasi hokum. Pada tanggal 11 Februari 2002, AAI bersama 6 organisasi advokat, pengacara, dan penasihat hokum, yaitu Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin), Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI), Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI), Serikat Pengacara Indonesia (SPI), Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI), dan Himpunan Konsultan hokum Pasar Modal (HKHPM), membentuk Komite Kerja Advokat Indonesia (KKAI) menggantikan FKAI, dalam rangka menyongsong satu organisasi advokat Indonesia.
Tiga tugas pokok KKAI adalah:
Pada tanggal 23 Mei 2003, KKAI, di mana AAI termasuk di dalamnya, memprakarsai dan merampungkan Kode Etik Advokat Indonesia sebagai satu-satunya peraturan kode etik yang diberlakukan dan berlaku di Indonesia, bagi mereka yang menjalankan profesi advokat. Kemudian kode etik tersebut dinyatakan dalam pasal 33 UU No.18/2003 tentang Advokat, mempunyai kekuatan hokum secara mutatis mutandis sampai ada ketentuan baru yang dibuat oleh organisasi advokat.
Tidak lepas dari peran AAI yang besar, KKAI berhasil menggolkan pengesahan UU No.18/2003, setelah sebelumnya pada tanggal 17 April 2002 bersama Mahkamah Agung menyelenggarakan ujian pengacara praktek secara serentak di seluruh wilayah pengadilan tinggi, disusul kemudianpada tanggal 27 Agustus 2002 KKAI secara mandiri menyelenggarakan ujian kode etik di seluruh Indonesia.
Sampai dengan Desember 2004, berdasarkan hasil verifikasi KKAI dan perkembangan setelah verifikasi, jumlah anggota AAI yang telah mendaftar kembali adalah sebanyak 4292 orang dari 75 DPC AAI se Indonesia.
Seluruh program DPP AAI dalam periode 2000-2005 ini diarahkan sejalan dengan agenda reformasi hokum. Pada tanggal 11 Februari 2002, AAI bersama 6 organisasi advokat, pengacara, dan penasihat hokum, yaitu Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin), Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI), Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI), Serikat Pengacara Indonesia (SPI), Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI), dan Himpunan Konsultan hokum Pasar Modal (HKHPM), membentuk Komite Kerja Advokat Indonesia (KKAI) menggantikan FKAI, dalam rangka menyongsong satu organisasi advokat Indonesia.
Tiga tugas pokok KKAI adalah:
- Menyusun dan mengesahkan kode etik bersama yang berlaku bagi 7 organisasi pengacara, advokat dan penasihat hukum yang tergabung dalam KKAI.
- Turut sebagai pelaksana ujian pengacara praktek bersama Mahkamah Agung RI.
- Menggoalkan RUU Advokat menjadi UU Advokat.
Pada tanggal 23 Mei 2003, KKAI, di mana AAI termasuk di dalamnya, memprakarsai dan merampungkan Kode Etik Advokat Indonesia sebagai satu-satunya peraturan kode etik yang diberlakukan dan berlaku di Indonesia, bagi mereka yang menjalankan profesi advokat. Kemudian kode etik tersebut dinyatakan dalam pasal 33 UU No.18/2003 tentang Advokat, mempunyai kekuatan hokum secara mutatis mutandis sampai ada ketentuan baru yang dibuat oleh organisasi advokat.
Tidak lepas dari peran AAI yang besar, KKAI berhasil menggolkan pengesahan UU No.18/2003, setelah sebelumnya pada tanggal 17 April 2002 bersama Mahkamah Agung menyelenggarakan ujian pengacara praktek secara serentak di seluruh wilayah pengadilan tinggi, disusul kemudianpada tanggal 27 Agustus 2002 KKAI secara mandiri menyelenggarakan ujian kode etik di seluruh Indonesia.
Sampai dengan Desember 2004, berdasarkan hasil verifikasi KKAI dan perkembangan setelah verifikasi, jumlah anggota AAI yang telah mendaftar kembali adalah sebanyak 4292 orang dari 75 DPC AAI se Indonesia.